Penulis :
Desmond J. Mahesa
Penerbit :
Rakyat Merdeka Group
Tahun Terbit : 2013
Halaman : xiv +
308 halaman
ISBN :
978-602-7936-04-1
Reformasi menjadi tonggak sejarah bagi pengukuhan kekuatan
lembaga representasi rakyat dalam tatanan pemerintahan. Hancurnya rezim orde
baru membawa pergeseran otoritas kekuasaan eksekutif kepada kekuasaan
legislatif (Asshiddiqie, 2008). Hal ini dikukuhkan dengan amandemen UUD 1945,
khususnya dalam sejumlah ketentuan yang mengatur tentang pelaksanaan fungsi
lembaga kepresidenan. Peran DPR semakin menguat, tidak hanya dalam menjalankan
fungsinya di bidang legislasi, tetapi juga meliputi fungsi anggaran dan juga
fungsi pengawasan yang melekat secara institusional. Akibatnya, hampir seluruh
eksekusi kegiatan pemerintahan yang menjadi tugas dan kewenangan presiden
berada dibawah ‘pengampuan’. Artinya, pelaksanaan fungsi presiden dalam
pemerintahan diharuskan berkonsultasi, meminta pertimbangan dan atau mendapat
persetujuan dari DPR. Dalam khasanah keilmuwan, keadaaan ini bahkan di claim
sebagai pemerintahan semi-parlementer atau sering disebut dengan istilah quasy
presidensil (Asshiddiqie, 2008). Catatan sejarah yang selama ini meletakkan DPR
sebagai legalisator kebijakan presiden mulai memasuki baris baru. Terminologi
legislative-heavy pun menjadi populer dalam diskursus politik dan pemerintahan.
Prinsipnya, penguatan suatu lembaga harus diiringi dengan
peningkatan output yang konstruktif dalam mendukung pembangunan pemerintahan.
Akan tetapi, hal tersebut tidak ditemukan dalam konteks penguatan DPR sebagai
lembaga representasi rakyat di parlemen. Penguatan kewenangan ini justru
berbanding terbalik dengan performa yang ditampilkan DPR. DPR dinilai masih
mengutamakan kepentingan partainya ketimbang memperjuangkan nasib rakyat yang merupakan
konstituennya (Romli, 2010). Distorsi pelaksanaan kewenangan DPR menjadi temuan
penting yang berpengaruh pada tidak optimalnya capaian kerja DPR. Di bidang
legislasi, DPR tidak mampu mencapai target yang ditetapkan oleh prolegnas
(Nursyamsi, 2012). Selain itu, produk legislasi DPR secara kualitas diragukan
konstitusionalitasnya sehingga tidak jarang dibatalkan atau diganti
nomenklaturnya oleh Mahkamah Konstitusi.
Dalam menjalankan fungsi anggaran, intensitas penyidikan
terhadap kebenaran cash flow yang dianggarkan DPR cukup tinggi. Klausul
penganggaran ‘untuk menyejahterakan kaum sendiri’ menjadi rumor yang mengakar
dalam persepsi publik. Padahal, fungsi anggaran seharusnya ditujukan untuk
membentuk scheme budgeting yang efektif untuk membiayai operasional kegiatan
pemerintahan demi memakmurkan dan menyejahterakan rakyat (Asshiddiqie, 2008).
Terakhir, berkaitan dengan pelaksanaan fungsi pengawasan, seyogyanya DPR
bekerja untuk memastikan bahwa UU dilaksanakan sesuai dengan esensi
pembentukannya dan memastikan bahwa UU di uraikan tidak lain dari sebagaimana
mestinya hingga ke peraturan praktisnya (Budiardjo, 2010). Akan tetapi,
praktiknya, DPR malah menafsirkan fungsi pengawasannya melalui
keturutsertaannya dalam urusan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lain
diluar institusinya. Distorsi pelaksanaan kewenangan inilah yang menjadi
determinant hilangnya fokus DPR dalam merespon dan mengekspresikan kepentingan
publik berdasarkan penjaringan aspirasi di dapilnya masing-masing.
Sementara itu, publisitas media terhadap tingkat presensi
wakil rakyat yang rendah dalam menghadiri rutinitas kegiatan di parlemen dan
juga perilaku anggota DPR yang terlibat dalam pelanggaran yang memuat unsur
pidana menjadikan penilaian publik pada DPR semakin memburuk. Ironisnya,
kondisi ini tidak berubah dengan pergantian anggota DPR pasca pemilu legislatif
tahun 2009. Meskipun prosentase perubahan komposisi anggota dewan yang
menduduki kursi DPR mencapai 70%, perubahan formasi itu tetap tidak mampu
memperbaiki citra DPR (Nursyamsi, 2012). Berdasarkan hal itu, dapat disimpulkan
bahwa penggantian pejabat di parlemen secara berkala melalui pemilihan umum
tidak mengubah karakter pejabat legislatif yang cenderung bersifat egosentris.
Mengingat pentingnya peran anggota DPR dalam pemerintahan,
pada awal tahun 2006, pernah dibentuk tim khusus yang ditujukan untuk melakukan
penelitian dan membuat rekomendasi dalam rangka meningkatkan kinerja DPR.
Meskipun pada akhir tahun 2009 tim
tersebut telah berhasil menyusun rekomendasi, hasil kerjanya tidak
dipertimbangkan oleh anggota Dewan (Nursyamsi, 2012). Selanjutnya, bukannya
memperbaiki kinerja terlebih dahulu, DPR malah menggagas pembangunan gedung
baru dan rumah aspirasi untuk tiap-tiap anggota DPR di dapilnya masing-masing.
Hal tersebut pun menuai kontroversi di kalangan masyarakat. DPR dinilai salah
fokus dalam memperjuangan kepentingan masyarakat di parlemen, kecuali
memperjuangkan kepentingan untuk menyejahterakan dirinya sendiri.
Hakikatnya, label buruk pada kinerja DPR adalah bentuk
kegagalan anggota yang menduduki parlemen dalam mempertanggungjawabkan mandat
yang telah diterimanya. Pembiaran terhadap kondisi ini akan berimbas pada
meradangnya sikap apathy masyarakat tidak hanya pada DPR, tetapi juga pada
pemerintahan dan juga partai politik. Sikap apathy tersebut, secara teoritis,
akan bermuara pada gerakan tidak memilih di hari pemilihan umum. Sesuai dengan
hal itu, Yanuarti mengatakan bahwa penyebab banyak pemilih pada pemilu 2004
memilih untuk tidak menggunakan hak suaranya adalah karena banyak pemilih yang
tidak puas dan kecewa terhadap kinerja politik dan tidak profesionalnya
cara-cara pengelolaan pemerintahan oleh partai yang berkuasa (Yanuarti, 2008).
Oleh karena itu, melihat kinerja DPR saat ini, bukan tidak mungkin angka
gol-put pada pemilu legislatif 2014 akan semakin meningkat.
Berkaitan dengan uraian sebelumnya, hingga saat ini sudah
banyak penelitian yang ditujukan untuk mengevaluasi kinerja DPR dan mencari
tahu faktor penyebab tidak optimalnya kerja DPR. Penelitian dilakukan tidak
hanya oleh kalangan akademisi, tetapi juga langsung dilakukan oleh praktisi di
parlemen. Dari kalangan akademisi tidak sulit menemukan catatan pakar politik
dan hukum tata negara yang mengulas tentang kinerja DPR yang memprihatinkan. Bahkan
tim peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) sejak tahun
2002 sudah melakukan penelitian untuk merekam kinerja DPR dengan membedah seluk
beluk proses legislasi hingga pelanggaran etika DPR dalam melaksanakan
fungsinya. Selain itu tulisan-tulisan tentang parlemen dan kinerjanya juga
banyak di hasilkan diantaranya oleh Syamsudin Haris yang sering mengkritisi
formasi parlemen dalam kaitannya dengan perolehan suara terbanyak, kualitas
Parlemen, dan juga kinerja legislatif baik di tingkat lokal maupun nasional,
Lili Romli yang dalam tulisan-tulisannya concern pada pengaruh partai di
parlemen baik tingkat lokal maupun nasional, dan Moch. Nurhasyim yang juga
tidak jarang mengulas tentang kualitas anggota legislatif dalam mewakili kepentingan
konstituennya.
Sementara itu, dari kalangan praktisi, ada beberapa wakil
rakyat yang membukukan pengalaman pribadinya untuk menggambarkan pada publik
permasalahan sebenarnya yang memengaruhi kinerja DPR. Salah satunya adalah
Sidarto Danusubroto dari Fraksi PDI Perjuangan yang pernah menulis tentang
kelemahan DPR dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya. Dalam bukunya yang
berjudul DPR Bukan Taman Kanak-Kanak, Bicara Stigma di Usia 70 Tahun:
Produktivitas Dwan Versus Kesenjangan Birokrasi, ia menyebutkan terdapat faktor
internal dan faktor ekstenal yang melemahkan DPR. Menurutnya, kelemahan
internal bersifat kelembagaan, terkait komitmen anggota DPR untuk
memperjuangkan kepentingan rakyat, kurangnya dukungan staf sekretariat jenderal
DPR, dan adanya dominasi fraksi atas anggota. Sementara itu, kelemahan
eksternal, menurutnya, muncul karena adanya resistensi birokrasi dan sistem
kepartaian serta sistem pemilu yang meneguhkan dominasi kewenangan elite partai
dalam proses rekrutmen calon anggota legislatif. Praktisi lainnya, yang juga
membuat karya tulis tentang kinerja DPR, adalah Desmond J. Mahesa. Ia merupakan
anggota sekaligus wakil fraksi Gerindra di DPR. Dalam bukunya yang berjudul DPR
Offside: Otokritik Parlemen Indonesia, dapat ditemukan potret kerja DPR dan
jawaban langsung atas isu buruk yang menjadi headlines dalam pemberitaan di
media.
Rendahnya tingkat kehadiran anggota DPR dalam rapat
paripurna, keengganan anggota untuk melaporkan harta kekayaan, keterlibatan
anggota DPR dalam kasus korupsi menjadi ilustrasi pembuka penulis dalam
menggambarkan buruknya kinerja DPR saat ini. Penulis pun menguatkan
justifikasinya dengan menyajikan data hasil jajak pendapat yang dilakukan
kompas pada tahun 2001-2003, yang menyatakan lebih dari 50% responden berpendapat
bahwa kinerja DPR buruk. Selanjutnya, pada bab kedua, penulis menekankan bahwa
sistem pemerintahan yang menempatkan MPR sebagai salah satu lembaga negara yang
permanen perlu ditinjau kembali. Pasalnya, kedudukan MPR dinilai sebagai
pemborosan anggaran, terutama karena kerja MPR hanya sebagai sebagai wadah
pertemuan kerja DPR dan DPD dalam pemerintahan.
Berikutnya, pada bab ketiga, penulis mengulas tentang
eksistensi koalisi jumbo di parlemen yang tidak efektif dalam menyelenggarakan
pemerintahan yang stabil. Hal tersebut dibuktikan dari beberapa kali resuffle
kabinet yang dilakukan oleh Presiden SBY pada kabinet RI I dan RI II. Penulis
berpendapat bahwa untuk membangun pemerintahan yang stabil dan efektif adalah
dengan melakukan penyederhanaan sistem kepartaian dari sisi jumlah secara
demokratis, baik melalui electoral threshold maupun parliamentary threshold.
Mekanisme lainnya adalah pengadaan syarat-syarat yang diperketat untuk
mendirikan partai politik dan untuk turut serta dalam pemilihan umum,
diantaranya dengan pengaturan ambang batas dan penyelenggaraan pemilu secara
serentak.
UU MD3 pun tidak luput dari bahasan penulis karena mengatur
kelembagaan MPR sebagai sistem kamar sendiri, pelemahan fungsi DPD, dan
mekanisme recall yang tidak akuntabel. UU ini dianggap sebagai aturan hukum
yang memasung DPR dalam menjalankan fungsinya. Permasalahannya terletak pada
mekanisme penentuan pimpinan DPR yang tidak dipilih secara demokratis oleh para
anggota dewan. Melainkan dipilih berdasarkan fraksi yang memiliki jumlah kursi
terbesar di DPR. Hal ini, menurut penulis, jelas mengabaikan suara kelompok
minoritas dan keterwakilan gender di DPR, khususnya untuk menggunakan haknya
untuk memilih pimpinan DPR. Disamping itu, keadaan ini justru menguatkan
intrusi parpol ke dalam parlemen karena
fraksi lebih didominasi oleh partai politik.
Lebih jauh lagi, penulis mengangkat persoalan aturan
pengawasan terhadap pimpinan DPR yang dalam UU MD3 dinyatakan bahwa Pimpinan
DPR di evaluasi oleh partai politiknya, bukan oleh fraksi atau anggota DPR.
Aturan tersebut dikaitkan penulis dengan memaparkan kualitas pimpinan yang jauh
dari ideal. Marzuki Alie selaku pimpinan DPR periode 2009-2014 dinilai tidak
mampu mengelola isu-isu strategis dan bersikap netral dengan mengeluarkan
pernyataan-pernyataan kontroversial. Sementara itu, tidak ada tindakan disiplin
dari elite partai terhadap pernyataan-pernyataan Marzuki Ali.
Selanjutnya, penulis membahas persoalan yang berkenaan
dengan sistem kepartaian. Bahasan ini diulas dalam beberapa bab dengan
mengangkat topik seputar kaderisasi parpol dan rekrutmen anggota parpol.
Penulis menilai kaderisasi tidak berjalan dengan baik, parpol juga dianggap
gagal dalam melakukan rekrutmen anggota karena masih saja merestui calon yang
memiliki track record buruk. Sementara, dalam bab-bab lainnya dipaparkan
egosentrisme sikap wakil rakyat yang cenderung memanfaatkan posisinya untuk
memperkaya diri sendiri. Bahasan tersebut dipaparkan penulis berulang kali
dalam beberapa bab yang masing-masing mengulas isu berbeda, diantaranya dalam
bab yang tentang perilaku koruptif anggota, kebiasaan bepergian keluar negeri
untuk studi banding, perilaku absen dalam rapat di parlemen, urgensi
pembangunan gedung baru, dan bab yang membahas tentang kontroversi proyek rumah
aspirasi.
Kritik terhadap kinerja DPR dalam menjalankan fungsi
legislasi, anggaran, dan pengawasan DPR pun ikut disinggung pada beberapa bab
terakhir dalam buku ini. Yang menjadi fokus dari bahasan tentang pelaksanaan
ketiga fungsi DPR ini adalah tentang praktik pengawasan DPR yang berlebihan.
Penulis memaparkan tentang intervensi DPR dalam proses pengangkatan pejabat
publik yang sering dimaknai dengan pencoretan beberapa nama kandidat yang
menolak diajak deal politik oleh anggota DPR. Padahal, nama-nama tersebut
adalah orang-orang yang memiliki integritas dan sudah lolos seleksi di tahapan
panitia seleksi yang komposisi anggotanya berasal dari kalangan akademisi dan
tokoh masyarakat.
Sebagai penutup, penulis merekap kritik dan gagasannya
dengan menyajikan sejumlah saran perbaikan untuk DPR, meliputi penguatan
kelembagaan DPR dan peningkatan kapasitas anggota DPR. Menurutnya, penguatan
kelembagaan DPR dapat dilakukan dengan cara meningkatkan infrastruktur
pendukung kinerja DPR; dukungan sekretariat yang profesional; membangun
mekanisme partisipasi masyarakat; dan menempatkan DPR sebagai partner kerja lembaga
tinggi negara lainnya. Untuk meningkatkan peningkatan kapasitas anggota DPR,
penulis berpendapat bahwa upaya yang dapat dilakukan adalah dengan cara
mengadakan program peningkatan kapasitas Anggota DPR secara rutin, menyediakan
tenaga ahli bagi setiap anggota DPR; menyediakan instrumen dan panduan sebagai
penunjang kerja anggota DPR; meningkatkan kemampuan komunikasi anggota DPR, dan
meningkatkan kesejahteraan anggota DPR.
Melalui ulasannya, penulis berusaha meyakinkan pembaca bahwa
kinerja DPR dipengaruhi oleh permasalahan sistem kepartaian, sistem
pemerintahan, dan karakter anggota DPR di parlemen. Masalah yang berasal dari
sistem kepartaian ini diulas penulis dengan uraian yang menyatakan bahwa partai
gagal melakukan rekrutmen anggota yang dipercaya menjadi kandidat untuk
mewakilinya di parlemen, partai juga gagal menegakkan disiplin pada anggotanya
yang melanggar etika dan hukum. Masalah yang berasal dari sistem pemerintahan
digarisbawahi penulis terletak pada pola pembentukan fraksi di parlemen dan
mekanisme pemilihan dan pengawasan terhadap pimpinan DPR yang berlaku saat ini.
Kedua masalah yang berkaitan dengan sistem tersebut kemudian di bulatkan
penulis dengan kesimpulan bahwa dominasi partai politik di parlemen menjadi
primary factor yang memengaruhi kerja anggota DPR. Disamping itu, masalah
karakter anggota DPR di parlemen diurai dengan menyentuh kecenderungan perilaku
anggota DPR yang berambisi untuk memperkaya diri sendiri, kurangnya kapasitas
anggota terutama anggota yang keahliannya tidak sesuai dengan bidang yang
dilingkupinya.
Berdasarkan pandangan penulis tersebut, diperoleh dua hal
yang menjadi highlights yang memengaruhi kualitas kerja DPR yaitu dominasi
partai politik di parlemen dan egosentrisme perilaku anggota DPR yang
mementingkan dirinya sendiri. Dominasi partai politik inilah yang mengontrol
ends dari kerja politik DPR sehingga orientasinya lebih cenderung pada
tarik-menarik kepentingan partai-partai besar yang menguasai parlemen.
Sementara disisi lainnya egosentrisme anggota DPR yang berorientasi pada
kepentingannya untuk menyejahterakan diri sendiripun menjadi pondasi
melembaganya stigmatisasi buruk pada anggota DPR dan kinerja DPR.
Secara garis besar, buku ini sudah memaparkan
persoalan-persoalan yang dianggap penulis memiliki pengaruh terhadap kualitas
kerja DPR, diantaranya berkaitan dengan sistem pemerintahan pasca amandemen,
sistem kepartaian, fenomena korupsi DPR, rendahnya kinerja legislasi, fungsi
budgeting yang selalu menjadi fokus media, fungsi pengawasan yang dianggap
tidak sesuai, hingga pada masalah pemilihan pimpinan DPR dan tentang
permasalahan SDM sebagai pendukung kerja-kerja politik anggota DPR. Namun
demikian, pembahasan buku ini belum mengupas persoalan yang memengaruhi
performa kerja DPR secara tuntas. Penulis melewatkan pembahasan tentang
distorsi pelaksanaan kewenangan DPR dalam bukunya. Sorotan utama penulis justru
pada dominasi partai dan perilaku anggota DPR yang mementingkan diri sendiri.
Padahal sebagaimana diuraikan dimuka, distorsi yang dilakukan anggota DPR dalam
melaksanakan peran strategisnya adalah point penting untuk dibahas. Distorsi
itulah yang seharusnya diluruskan dan dikembalikan pada esensi awal yang memicu
penguatan kewenangan dan fungsi DPR.
Dari judulnya, buku ini memiliki kesan yang menarik untuk
dibaca terutama untuk mengetahi nuansa dilematis yang dialami penulis dalam
menyikapi permasalahan kerja yang dihadapinya di parlemen. Harapan untuk
membaca narasi dialogis penulis antara dirinya sebagai wakil rakyat (praktisi)
dan dirinya sebagai aktivis (pengamat) berdasarkan pengalamannya tidak dapat
diwujudkan dengan membaca buku ini. Jika merujuk pada iktikad penulis dalam
kata pengantarnya, maksud penulis menyusun buku ini adalah untuk menyajikan
informasi yang berisi kritikan penulis terhadap DPR dan rekomendasi perbaikan
yang sifatnya personal untuk melakukan perubahan psiko kultural pada anggota DPR. Akan tetapi, dalam buku
ini, sulit ditemukan pandangan orisinil penulis dalam melihat permasalahan
dibalik buruknya kinerja DPR sebagai aktor yang bekerja di parlemen. Kutipan
pakar disana-sini tanpa diikuti dengan posisi pikir penulis tentang issue yang
sedang dibahas menjadikan poin pengurang untuk nilai sempurna bagi buku ini.
Ditambah lagi, penulis tidak bertumpu pada suatu metodologis penelitian. Tidak
ditemukan suatu metode penelitian yang dinyatakan secara tegas oleh penulis
dalam menyusun buku ini. Akhirnya, buku ini secara sederhana hanya berisi
himpunan pandangan para pakar dalam menyoal kinerja DPR.
Dari segi penyajian data, penulis tidak segan masih
menggunakan data lama. Pada bab pertama, penulis menggunakan hasil jajak
pendapat atau survei sederhana yang dilakukan oleh harian kompas pada tahun
2000, 2001, 2002, dan atau tahun 2006 untuk dijadikan justifikasi atas
argumentasinya tentang penilaian masyarakat terhadap kinerja DPR. Padahal buku
ini ditulis pada tahun 2012. Sementara itu, kutipan pakar yang dicantumkan
penulis tidak dilakukan melalui wawancara mendalam yang dilakukan penulis
melainkan hanya perolehan berdasarkan pemberitaan di media online atau blogsite
di internet. Hal itu, menunjukkan bahwa penulis tidak menggunakan teknik
pengumpulan data yang dikenal dalam penulisan karya ilmiah. Tulisan ini semakin
kehilangan nilai ilmiahnya karena tidak didukung dengan kerangka teori yang
mendasari pokok pikiran penulis.
Dari segi sistematika penulisan, pengorganisasian ide
penulis tidak terstruktur dengan baik. Terdiri dari sembilan belas bab yang
masing-masing merupakan ide yang berdiri sendiri tanpa korelasi antara satu
tulisan pertama dengan yang sesudahnya. Perulangan ide atau argumen pun
ditemukan dalam beberapa bab yang mengulas issue berbeda. Paparan penulis yang
memuat ketentuan hukum pun seringkali tidak disertai dengan narasi deskriptif
tentang relevansi pencantuman aturan hukum dengan topik yang sedang dibahas
penulis.
Dari segi substansi, buku ini memuat gagasan seputar
permasalahan di DPR dan sejumlah rekomendasi perbaikan, tetapi buku ini menjadi
lemah secara ilmiah karena tidak disertai dengan metode penelitian dan
penulisan yang mendukung. Bagi sebagian pembaca, ketentuan metode penelitian
dan sistematika yang digunakan penulis mungkin tidak diperhatikan dan
dipersoalkan. Akan tetapi, bagi sebagian pembaca dari kalangan akademisi,
ketentuan metode dan sistematika penulisan masih mendapat perhatian khusus
karena merupakan tolok ukur signifikansi karya ilmiah. Akhirnya, secara
keseluruhan, buku DPR Offside: Otokritik Parlemen Indonesia layak menjadi
referensi untuk memahami persoalan yang dihadapi DPR dalam melaksanakan fungsi
dan kewenangannya. (Devi Darmawan)
BIBLIOGRAFI:
Asshiddiqie, Jimly. (2008). Pokok-Pokok Hukum Tata Negara
Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Budiardjo, Miriam. (2010). Dasar-Dasar Ilmu Politik.
Jakarta: Gramedia Utama.
Nursyamsi, Fajri, et.al. (2012). Catatan Kinerja DPR 2011:
Legislasi: Aspirasi atau Transaksi. Jakarta: PSHK.
Romli, Lili, et.al. (2010). Kecenderungan Hubungan Anggota
Legislatif dan Konstituen: Studi DPRD Provinsi Banten Hasil Pemilu 2009.
Jakarta: Lipi Press.
Yanuarti, Sri. (2008). Golput dan Pemilu di Indonesia.
Jurnal Penelitian Politik: Vol. 6. No. 1, 2008.
Sumber:
http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-1/tinjauan-buku/964-review-buku-dpr-offside-otokritik-parlemen-indonesia