![](file:///C:\Users\windows\AppData\Local\Temp\msohtml1\01\clip_image002.jpg)
Kampung Sumur Welut sebagian besar adalah kawasan pertanian. Saat masuk kampung ini akan terlihat disepanjang jalan bernuansa pedesaan. Mulai dari jalan yang sepi, rumah warga, udara sejuk, hingga pemandangan sekitar masih rimbun dengan pepohonan dan persawahan.
Secara kehidupan sosial, kampung ini masih kental
dengan budaya-budaya pedesaan. Contohnya saja bahasa mereka mayoritas masih
banyak yang menggunakan bahasa jawa halus atau yang akrab di sebut dengan
bahasa krama inggil, hanya warga pendatang saja yang sudah lancar berbahasa
Indonesia itupun hanya segelintir saja.
Selain itu warga masih percaya akan budaya-budaya
ruwat desa, setiap panen sawah atau pada bulan Agustus mereka mengadakan
ruwatan atau sedekah bumi. “ Biasanya acaranya diadakan bertepatan dengan malam
syukuran 17 Agustus,” tutur Suparto (67) sesepuh Kampung Sumur Welut.
Menurutnya warga rutin mengadakan ruwat desa
sebagai wujud rasa syukur kepada alam, mereka berkeyakinan jika tidak melakukan
ruwatan seluruh desa akan terkena musibah, seperti sakit yang yang secara
bergilir berganti dari warga ke warga.
Lepas dari sejarah yang ada kampung ini dinamakan
Kampung Sumur Welut. konon menurut warga daerah ini adalah daerah sumber air,
sehingga warga banyak membangun sumur di areal rumah mereka masing-masing.
Saat dibangun itu, salah satu sumur berisi banyak
sekali belut, dan di antara belut-belut tersebut terdapat belut besar berwarna
putih. Warga percaya bahwa belut tersebut adalah makhluk gaib. Warga setempat
menyebutnya dengan sebutan wewe belut, yaitu sejenis makhluk halus yang keluar
pada saat siang hari.
Dari peristiwa inilah warga setempat menyebut
daerah tersebut dengan Sumur Welut. Hanya saja tetenger sumur tersebut kini
sudah tidak tampak lagi. Karena sumur itu sudah lenyap karena urukan tanah.
“Sumurnya sudah diuruk sejak saya masih kecil
karena airnya sudah surut,” jelas Suprapto.
Urukan sumur itu sekarang berada di areal Sekolah
Dasar Negeri Sumur Welut I yang bersebelahan dengan pohon beringin. Pohon
Beringin itu juga di keramatkan oleh warga dan digunakan sebagai tempat ruwat
desa sampai sekarang.
Karena sebagian besar lahan di sini adalah
persawahan, maka mayoritas warganya adalah bekerja sebagai petani. Umumnya
mereka menjadi buruh tani karena persawahan yang mereka kerjakan seluruhnya
bukanlah sawah mereka melainkan sawah milik pengembang, Yang dikhawatirkan
warga ketika pengembang akan membangun kawasan tersebut. Karena nya secara
otomatis mereka kehilangan pekerjaan dan menjadi pengangguran.
“Warga yang sudah tua kebanyakan bertani, tapi
yang masih muda kerjanya jadi tukang bangunan,” jelas Suprapto.
Kampung yang berada di sisi barat Surabaya ini
terlihat sepi di kantor Kelurahan Sumur Welut saja juga masih memprihatinkan
karena minimnya SDM. Jika pada jam kerja kelurahan biasanya berakhir pukul
16.00, namun di Sumur Welut, selepas pukul 12.00 sudah sangat sepi.
Menurut Suliato, Sekretaris Kelurahan Sumur Welut
setelah siang sudah tidak ada pelayanan di kantor tersebut karena memang sudah
tidak ada lagi warga yang datang ke kelurahan untuk mengurus surat-surat.
Meski letak kampung ini berada di pinggiran Kota
Surabaya namun warga enggan disebut warga pinggiran. Menurut warga meskipun
letaknya di pinggiran Kota Surabaya namun kehidupan mereka sama seperti
kehidupan warga yang berada di tengah kota.
Situs Sumur Welut 1382
Pada bulan Mei
Tahun 1382, saat masa kejayaan Majapahit, kisah ini dimulai. Tersebutlah 3 orang saudagar bersahabat yaitu
Daeng Paliatan, Sidabutar dan Kartosuryo. Mereka adalah pedagang hasil bumi
(semangka, blewa, bengkuwang dan ketela) yang memasok kebutuhan buah buahan
dari wilayah Giri (Gresik) ke pasar tradisional di sebuah kota kecil tepi kali
Brantas (sekarang Kota Sepanjang), kira kira berjarak 20 km.
Dari tlatah Giri itu, mereka menggunakan kuda
beban untuk mengakut hasil bumi saat panen tiba, mereka pulang pergi sehari
sampai 3 kali. Berangkat pagi pulang menjelang matahari terbenam. Saat kuda
mereka melewati desa sumur welut, yang termasuk kecamatan Lakarsantri –
Surabaya sekarang, kuda Daeng Palitan kecapekan dan mulutnya mengeluarkan busa.
Karena kudanya mogok, maka Daeng mencari sumber air dan tempat yang teduh agar
kudanya bisa istirahat, lalu dapat meneruskan perjalanan. Akhirnya mereka
bertiga menggali sumur yang lebarnya 5 kali sumur biasa untuk mencari sumber
air, setelah memberikan uang sewa pada pemilik lahan, yang bernama Raden Atang
Sumirat. Semenjak terciptanya sumur itu, maka banyak para pejalan kaki dan
perantau datang mampir untuk sekedar tiduran dan beristirahat disekitar sumur
itu. Awalnya sumur yang merupakan mata air langsung dari sumbernya di gunung
Arjuna – Pandaan itu belum memiliki nama. Setelah beberapa orang melihat
terdapat seekor belut besar yang hidup didalamnya, maka ramailah orang
menyebutnya Sumur Welut. Konon walau musim kemarau, sumur itu tak pernah kering
dan dipercaya membawa berkah bagi yang meminumnya. Pada tahun 2011, warga desa
Sumur Welut membuat 3 situ/belong yang difungsikan untuk memelihara ikan mas,
yang konon bisa bersuara seperti manusia untuk mengucapkan kata maturnuwun
(terimakasih) saat selesai diberi makan oleh para pengunjungnya. Situ paling
besar disebut Situ Meong dan 2 lainnya yang lebih kecil disebut Situ Kembar.