SUMUR WELUT 1382, SUMUR TUA DAN PESAPEN


Kampung Sumur Welut sebagian besar adalah kawasan pertanian. Saat masuk kampung ini akan terlihat disepanjang jalan bernuansa pedesaan. Mulai dari jalan yang sepi, rumah warga, udara sejuk, hingga pemandangan sekitar masih rimbun dengan pepohonan dan persawahan.
Secara kehidupan sosial, kampung ini masih kental dengan budaya-budaya pedesaan. Contohnya saja bahasa mereka mayoritas masih banyak yang menggunakan bahasa jawa halus atau yang akrab di sebut dengan bahasa krama inggil, hanya warga pendatang saja yang sudah lancar berbahasa Indonesia itupun hanya segelintir saja.
Selain itu warga masih percaya akan budaya-budaya ruwat desa, setiap panen sawah atau pada bulan Agustus mereka mengadakan ruwatan atau sedekah bumi. “ Biasanya acaranya diadakan bertepatan dengan malam syukuran 17 Agustus,” tutur Suparto (67) sesepuh Kampung Sumur Welut.

Menurutnya warga rutin mengadakan ruwat desa sebagai wujud rasa syukur kepada alam, mereka berkeyakinan jika tidak melakukan ruwatan seluruh desa akan terkena musibah, seperti sakit yang yang secara bergilir berganti dari warga ke warga.
Lepas dari sejarah yang ada kampung ini dinamakan Kampung Sumur Welut. konon menurut warga daerah ini adalah daerah sumber air, sehingga warga banyak membangun sumur di areal rumah mereka masing-masing.
Saat dibangun itu, salah satu sumur berisi banyak sekali belut, dan di antara belut-belut tersebut terdapat belut besar berwarna putih. Warga percaya bahwa belut tersebut adalah makhluk gaib. Warga setempat menyebutnya dengan sebutan wewe belut, yaitu sejenis makhluk halus yang keluar pada saat siang hari.
Dari peristiwa inilah warga setempat menyebut daerah tersebut dengan Sumur Welut. Hanya saja tetenger sumur tersebut kini sudah tidak tampak lagi. Karena sumur itu sudah lenyap karena urukan tanah.
“Sumurnya sudah diuruk sejak saya masih kecil karena airnya sudah surut,” jelas Suprapto.
Urukan sumur itu sekarang berada di areal Sekolah Dasar Negeri Sumur Welut I yang bersebelahan dengan pohon beringin. Pohon Beringin itu juga di keramatkan oleh warga dan digunakan sebagai tempat ruwat desa sampai sekarang.
Karena sebagian besar lahan di sini adalah persawahan, maka mayoritas warganya adalah bekerja sebagai petani. Umumnya mereka menjadi buruh tani karena persawahan yang mereka kerjakan seluruhnya bukanlah sawah mereka melainkan sawah milik pengembang, Yang dikhawatirkan warga ketika pengembang akan membangun kawasan tersebut. Karena nya secara otomatis mereka kehilangan pekerjaan dan menjadi pengangguran.
“Warga yang sudah tua kebanyakan bertani, tapi yang masih muda kerjanya jadi tukang bangunan,” jelas Suprapto.
Kampung yang berada di sisi barat Surabaya ini terlihat sepi di kantor Kelurahan Sumur Welut saja juga masih memprihatinkan karena minimnya SDM. Jika pada jam kerja kelurahan biasanya berakhir pukul 16.00, namun di Sumur Welut, selepas pukul 12.00 sudah sangat sepi.
Menurut Suliato, Sekretaris Kelurahan Sumur Welut setelah siang sudah tidak ada pelayanan di kantor tersebut karena memang sudah tidak ada lagi warga yang datang ke kelurahan untuk mengurus surat-surat.

Meski letak kampung ini berada di pinggiran Kota Surabaya namun warga enggan disebut warga pinggiran. Menurut warga meskipun letaknya di pinggiran Kota Surabaya namun kehidupan mereka sama seperti kehidupan warga yang berada di tengah kota.

Situs Sumur Welut 1382
Pada bulan Mei Tahun 1382, saat masa kejayaan Majapahit, kisah ini dimulai. Tersebutlah 3 orang saudagar bersahabat yaitu Daeng Paliatan, Sidabutar dan Kartosuryo. Mereka adalah pedagang hasil bumi (semangka, blewa, bengkuwang dan ketela) yang memasok kebutuhan buah buahan dari wilayah Giri (Gresik) ke pasar tradisional di sebuah kota kecil tepi kali Brantas (sekarang Kota Sepanjang), kira kira berjarak 20 km.

Dari tlatah Giri itu, mereka menggunakan kuda beban untuk mengakut hasil bumi saat panen tiba, mereka pulang pergi sehari sampai 3 kali. Berangkat pagi pulang menjelang matahari terbenam. Saat kuda mereka melewati desa sumur welut, yang termasuk kecamatan Lakarsantri – Surabaya sekarang, kuda Daeng Palitan kecapekan dan mulutnya mengeluarkan busa. Karena kudanya mogok, maka Daeng mencari sumber air dan tempat yang teduh agar kudanya bisa istirahat, lalu dapat meneruskan perjalanan. Akhirnya mereka bertiga menggali sumur yang lebarnya 5 kali sumur biasa untuk mencari sumber air, setelah memberikan uang sewa pada pemilik lahan, yang bernama Raden Atang Sumirat. Semenjak terciptanya sumur itu, maka banyak para pejalan kaki dan perantau datang mampir untuk sekedar tiduran dan beristirahat disekitar sumur itu. Awalnya sumur yang merupakan mata air langsung dari sumbernya di gunung Arjuna – Pandaan itu belum memiliki nama. Setelah beberapa orang melihat terdapat seekor belut besar yang hidup didalamnya, maka ramailah orang menyebutnya Sumur Welut. Konon walau musim kemarau, sumur itu tak pernah kering dan dipercaya membawa berkah bagi yang meminumnya. Pada tahun 2011, warga desa Sumur Welut membuat 3 situ/belong yang difungsikan untuk memelihara ikan mas, yang konon bisa bersuara seperti manusia untuk mengucapkan kata maturnuwun (terimakasih) saat selesai diberi makan oleh para pengunjungnya. Situ paling besar disebut Situ Meong dan 2 lainnya yang lebih kecil disebut Situ Kembar.